Pada zaman dahulu kala di negeri dongeng, hiduplah sekawanan hewan yang disebut kumang-kumang. Hewan ini sejenis tupai dan tinggal di antara akar-akar pohon besar yang menonjol di tanah. Makanan sehari-hari kumang-kumang adalah jamur mentega dan beberapa jenis buah beri. Sebagian besar makanan kumang-kumang akan menghilang ketika musim kemarau tiba. Oleh karena itu, kumang-kumang memiliki kebiasaan untuk mengumpulkan jamur mentega di musim penghujan sebagai persediaan makanan di musim kemarau. Buah beri akan cepat busuk, sedang jamur mentega cenderung lebih awet.
Pada suatu ketika di akhir musim penghujan, Kumaratungga, raja kumang-kumang yang bijak, mengumumkan bahwa musim kemarau depan akan menjadi musim kemarau panjang. Oleh karena itu, Kumaratungga memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk mencari jamur mentega sebanyak-banyaknya sebagai persiapan menghadapi paceklik panjang tersebut.
Kumbati dan Kumalit, dua ekor kumang-kumang yang hidup di pinggir sungai tidak mau ketinggalan untuk mencari jamur mentega sebanyak-banyaknya bersama kumang-kumang yang lain, Kumiola, Kumalinggis, Kumpret dan Kumatirus. Keenam kumang-kumang itu mencari jamur mentega sampai ke dalam Hutan Kumalindung yang lebat. Dalam pencarian jamur mentega itu keenam kumang-kumang terpisah-pisah. Kumiola dan Kumatirus memutuskan untuk mencari jamur mentega dengan menyusuri aliran sungai kecil yang membelah Hutan Kumalindung agar tidak tersesat. Kumpret dan Kumalinggis mencari jamur mentega di sepanjang jalan setapak Hutan Kumalindung, dengan tujuan yang sama; agar tidak tersesat. Sedang Kumbati dan Kumalit memutuskan untuk menerobos kegelapan Hutan Kumalindung dengan berbekal sebilah parang.
Kumbati dan Kumalit semakin jauh masuk ke dalam hutan, memangkas setiap ranting yang menghalangi jalan mereka dan mengamati dengan seksama keadaan di sekeliling mereka, apakah terdapat jamur mentega yang berwarna kuning. Jauh di dalam hutan, Kumbati menemukan sebuah gua. Mulut gua itu nyaris tertutup oleh lumut dan sulur-sulur tanaman rambat.
Kumbati dan Kumalit semakin jauh masuk ke dalam hutan, memangkas setiap ranting yang menghalangi jalan mereka dan mengamati dengan seksama keadaan di sekeliling mereka, apakah terdapat jamur mentega yang berwarna kuning. Jauh di dalam hutan, Kumbati menemukan sebuah gua. Mulut gua itu nyaris tertutup oleh lumut dan sulur-sulur tanaman rambat.
”Lit, lihat ke sini,” panggil Kumbati. ”Ada sebuah gua.”
”Mana?” Kumalit mendekat.
Kumbati menunjuk pintu gua itu dengan parangnya.
”Bolehlah kita coba telusuri gua itu.” usul Kumalit.
”Iya Lit, siapa tahu di dalam gua itu ada jamur mentega. Dari tadi kita belum menemukan jamur mentega.” Kumbati mengamini usul Kumalit.
Akhirnya kedua kumang-kumang itu memasuki gua berbekal obor yang mereka buat dari getah kayu api. Gua itu begitu gelap dan cukup panjang. Sesekali mereka harus setengah merayap di beberapa bagian gua yang menyempit. Badan mereka basah karena keringat yang bercampur lumpur gua. Pada bagian tertentu dari gua itu mereka berdua harus mengangkat obor tinggi-tinggi karena air menggenang setinggi leher mereka. Nafas mereka mulai pendek pendek, api obor juga meredup. Tanda bahwa kandungan oksigen di tempat itu menipis. Namun perjuangan mereka tidak sia-sia. Sayup-sayup terdengar suara gemuruh air. Kedua kumang-kumang itu mempercepat langkahnya.
Di ujung gua itu terdapat ruangan yang cukup luas. Suara gemuruh air memenuhi ruangan. Mereka menemukan sungai bawah tanah yang cukup besar. Kumbati mengangkat obornya dan memeriksa sekeliling ruangan itu. Benda yang berwarna kuning berkilauan memantulkan cahaya obor mereka.
”Jamur mentega!!” seru kedua kumang-kumang itu hampir bersamaan.
Dinding gua itu dipenuhi oleh jamur mentega.
”Ini cukup untuk persediaan selama enam bulan lebih.” ujar Kumalit
”Iya, banyak sekali.” timpal Kumbati.
Segera mereka mengeluarkan karung besar dari anyaman pandan untuk mengambil jamur-jamur mentega itu. Kemudian dengan menyusuri bekas tebasan parang dan tanda yang telah mereka buat di pohon, Kumbati dan Kumalit berhasil keluar dari kegelapan Hutan Kumalindung. Mereka pulang dengan masing-masing membawa satu karung penuh jamur mentega. Di antara kawanan kumang-kumang, Kumbati dan Kumalit-lah yang memiliki simpanan jamur mentega yang paling banyak.
* * *
Enam bulan telah berlalu, namun tanda-tanda akan datangnya musim penghujan belum juga nampak. Sepertinya musim kemarau ini lebih panjang dari dugaan semua kumang-kumang. Seminggu kemudian, hampir semua kumang-kumang telah kehabisan persediaan makanannya kecuali Kumbati dan Kumalit yang masih memiliki beberapa potong jamur mentega. Beberapa kumang-kumang mulai memakan rumput yang masih cukup segar yang bisa mereka temukan di dalam hutan. Meskipun rasanya getir dan membuat perut mereka terasa mual, mereka tidak punya pilihan lain untuk bisa bertahan hidup. Namun sebagian besar kumang-kumang yang lain memilih untuk menghentikan semua aktivitas dan berdiam diri di rumah masing-masing untuk menghemat cadangan lemak dalam tubuh mereka. Demikian juga yang dilakukan oleh Kumbati dan Kumalit.
Pada suatu sore, Kumiola dan Kumpret berjalan tertatih-tatih melewati rumah Kumbati dan Kumalit yang saling berseberangan. Rupanya mereka berdua hendak menuju hutan untuk mencari rumput. Kumiola, kumang-kumang yang biasanya ceria dan bermain biola, tampak sangat lemah. Demikian juga dengan Kumpret, kumang-kumang pemain terompet, berjalan dengan menyeret kakinya. Keduanya saling menopang badan.
Kumalit melihat mereka berdua dari balik jendela. Namun, Kumalit diam saja, berbeda dengan Kumbati yang tinggal di seberang rumah Kumalit. Kumbati langsung keluar dari rumah, mengajak Kumiola dan Kumpret untuk mampir ke rumahnya untuk makan jamur mentega yang masih tersisa miliknya. Beberapa lama kemudian, Kumiola dan Kumpret keluar dari rumah Kumbati. Mereka berdua tampak lebih segar setelah makan jamur mentega. Kumbati mengantar mereka sampai halaman.
Begitu Kumiola dan Kumpret pergi cukup jauh, Kumalit menghampiri Kumbati.
”Apa kamu sadar apa yang sedang kamu lakukan Bat?” tanya Kumalit.
”Apa maksudmu?” Kumbati tidak paham.
”Kamu mengundang mereka makan jamur mentega ke rumahmu. Apa kamu tidak takut kehabisan persediaan jamur mentega?” ujar Kumalit. ”Kita tidak tahu kapan musim kemarau akan berakhir.”
”Ah .. jangan terlalu egois Lit. Apakah kamu tega melihat teman-temanmu kelaparan sedang kamu sendiri masih memiliki beberapa potong jamur potong yang tersisa?” Kumbati gusar.
”Tapi jamur mentega itu kan jamur yang aku cari dengan susah payah. Aku berhak untuk menyimpan jamur itu untuk diriku sendiri.”
”Aku? Kamu lupa Lit, KITA yang menemukannya bersama-sama.”
”Yaa .. maksudku, kamu seharusnya juga tidak perlu membagi-bagikan jamur mentega hasil jerih payahmu.” jelas Kumalit. ”Kamu bodoh Bat!”
”Jika pandai adalah kata sifat untuk orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri, maka aku memilih untuk menjadi bodoh Lit!” tangkis Kumbati. ”Lagipula, musim kemarau pasti akan berakhir Lit.”
”Yah .. terserah kamu Bat. Kamu memilih untuk kelaparan.”
”Aku memilih sesuatu yang memang seharusnya aku lakukan. Berbagi makanan dengan teman-teman lain yang membutuhkan.” ujar Kumbati tegas sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
Kumalit tersenyum sinis. Di dalam rumah, Kumalit menghitung-hitung persediaan jamur mentega yang telah memudar warna kuningnya. ”Hmm .. ini masih cukup untuk beberapa minggu lagi.” ujar Kumalit pada dirinya sendiri.
* * *
Pada akhir bulan ketujuh musim kemarau, persediaan jamur mentega Kumbati telah habis. Sedang jamur-jamur mentega milik Kumalit mengalami perubahan warna. Jamur mentega yang tadinya berwarna kuning berubah menjadi putih dan timbul bercak-bercak kecil berwarna biru. Kumalit sehari-hari makan persediaan jamur mentega yang masih tersisa, sedang Kumbati mulai sering ke hutan bersama Kumiola dan Kumpret untuk mencari rumput hijau yang masih bisa dimakan.
”Sampai kapan ya musim kemarau ini berlangsung?” tanya Kumpret pada suatu hari saat mencari rumput bersama Kumbati di hutan.
”Tidak akan lama Pret .. tidak akan lama.” jawab Kumbati.
Rupanya Tuhan mengamini doa Kumbati. Tiga hari kemudian awan gelap menggantung di langit dan hujan tercurah dari langit. Seiring dengan datangnya hujan, jamur-jamur mentega bermunculan di tepian sungai. Semua kumang-kumang bersuka cita. Namun Kumalit tidak tampak bersama mereka.
”Apakah kamu melihat Kumalit Rus?” tanya Kumbati kepada Kumatirus yang sedang mencari jamur mentega di tepian sungai.
”Nggak tu Bat.” jawab Kumatirus dingin.
Kumbati memungut beberapa jamur mentega segar. Lalu bergegas ke rumah Kumalit.
* * *
”Halo ... Lit, apa kamu di rumah?” teriak Kumbati sambil mengetuk pintu rumah Kumalit.
Tidak ada jawaban.
”Halo ... Lit ... ,” Kumbati membuka pintu. Pintunya tidak dikunci. Dia mencium bau yang busuk dan menyengat. Kumbati terkejut ketika melihat Kumalit tergeletak di lantai. Segera Kumbati memeriksa keadaan Kumalit. Kumalit masih hidup, dia hanya pingsan. Kumbati bergegas mengambil akar kayu wangi di rumahnya untuk membangunkan Kumalit.
”Makanlah ini Lit,” ujar Kumbati menyodorkan jamur mentega segar saat Kumalit sadar. Dengan sangat lemah Kumalit berusaha menelan jamur yang diberikan Kumbati.
”Apa yang terjadi Lit?” tanya Kumbati saat Kumalit terlihat lebih baik.
”Sepertinya aku pingsan setelah memakan jamur mentega yang telah berubah warna Bat.”
Kumbati teringat bau menyengat yang diciumnya saat masuk ke rumah Kumalit. Kemudian dia mencari sumber bau itu. Ternyata bau itu berasal dari persediaan jamur mentega milik Kumalit yang kini telah berwarna biru. Rupanya setelah tujuh bulan dicabut dari tempatnya tumbuh, jamur mentega akan membusuk dan beracun.
”Rupanya kamu keracunan jamur mentega busuk Lit.” ujar Kumbati.
Kumalit mengangguk mengiyakan.
”Lain kali kamu tidak perlu menimbun jamur mentega Lit. Menimbun jamur mentega akhirnya malah akan mencelakakan dirimu sendiri.” nasehat Kumbati.
Kumalit diam saja.
”Sebaiknya persediaan jamur mentega dibagikan untuk teman-teman yang membutuhkan daripada dibiarkan membusuk seperti ini.” lanjut Kumbati. ”Toh musim penghujan pasti akan datang lagi Lit. Begitulah hukum alam yang berlaku.”
”Aku rasa kamu benar Bat. Maafkan aku kalau ucapanku dulu menyakitimu.” akhirnya Kumalit mengakui kesalahannya.
(It supposed to be an anonymous story)
2 comments:
Hwa....Mengingatkan saya pada buku masa kanak-kanak. Oh, ya. Hikayat Sains yang Bold itu pripun kelanjutannya? Maaf kalau saya Naga yang pasif.
Sudah lama sekali saya tidak didongengi atau baca dongeng seperti ini. Sederhana tapi mudah diingat dan mengandung ajaran yang baik. Terus mendongeng ya bung.
Post a Comment