Riko mengambil tempat duduk di sebelah tumpukan nasi kucing. Wajahnya kusut.
"Minum apa Mas?" Lik Jumakir menyapa.
"Es Teh aja Lik."
Mata Riko menerawang, agak berair. Sedih sekali tampaknya.
"Uhuk .. Uhuk .. Kok sedih banget ada apa Mas?" Pak Bejo, lelaki setengah baya yang kebetulan sering bertemu Riko di angkringan milik Lik Jumakir itu bertanya disertai suara batuknya yang khas.
"nGgak pa pa kok Pak." Riko mulanya mengelak untuk bercerita.
Pak Bejo dan Lik Jumakir paham. Tidak seperti biasa Riko dirundung duka sedalam itu. Mereka bertiga pun dibekap sunyi dalam remang-remang cahaya teplok. Langit tidak biasanya kelabu di musim kemarau seperti ini. Bulan separuh yang seharusnya menghiasi langit, hilang tertelan awan.
"Rempela atinya tolong dibakarkan satu Lik," pinta Riko.
Segera Lik Jumakir menyisihkan teko-teko air-nya untuk menyediakan tempat pembakaran.
"Saya nunut dibakarkan ini Lik." Pak Bejo, lelaki tua yang duduk di depan anglo itu mengambil dua tusuk sate kulit. Pak Bejo adalah tukang parkir yang biasa mangkal tidak jauh dari angkringan Lik Jumakir, tapi kalau pagi Pak Bejo juga nyambi jadi tukang sapu jalanan.
Tidak lama kemudian suara gemeripik bakaran sate mengisi kesenyapan di antara mereka.
* * *
Awan berarak perlahan. Matahari mengintip dari balik mega. Pucuk-pucuk daun bergoyang ditiup angin. Riko melangkah dengan sangat berat meninggalkan pusara Eyangnya yang masih basah bersama kerumunan takziyah yang beranjak pulang. Sejenak Riko menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang sekali lagi.
* * *
”Huufff ... ” Riko menghela nafas dalam-dalam.
”Saya barusan pulang dari pemakaman Eyang saya.” akhirnya Riko mau bercerita.
”Oo .. ndherek belasungkawa mas .. ” ujar Pak Bejo dan Lik Jumakir hampir berbarengan.
”Kepergian eyang saya itu mendadak sekali. Berat rasanya kehilangan seseorang seperti beliau.” Riko mencurahkan kesedihannya. ”Yaa .. walaupun sebenarnya saya nggak begitu dekat sama eyang saya, tapi tetap saja rasanya nyaris nggak percaya beliau dipanggil Gusti Allah begitu mendadak. Baru kemarin pagi masuk Rumah Sakit, malamnya sudah nggak ada.”
Lik Jumakir dan Pak Bejo cuma bisa mengangguk-angguk. Mereka sudah lama kenal dengan Riko dan seringkali bertukar cerita, namun baru kali ini Riko menumpahkan perasaan duka yang begitu mendalam kepada mereka.
Angin malam yang dingin berhembus. Lik Jumakir mengangkat bakaran satenya dari tungku, meletakkannya di atas piring-piring kecil dan melumurinya dengan kecap. Riko kemudian mengambil dua bungkus nasi kucing dan mulai makan. Pak Bejo hanya menggado dua tusuk sate kulitnya.
Sementara Riko masih sibuk dengan nasi sambel teri, Pak Bejo angkat bicara.
”Uhuk .. Saya bisa ngerti perasaan mas Riko. Tapi yang saya tahu, yang namanya ’kehilangan’ itu sebenernya ndak ada.”
”Maksudnya?” Riko agak terhenyak
”Lha kalau kita tidak memiliki kan ndak mungkin to kita kehilangan?” Pak Bejo malah balik bertanya.
Riko cuma manggut-manggut.
”Nah .. kita ini sebenernya ndak memiliki apa-apa di dunia Mas,” lanjut Pak Bejo.”Semuanya itu milik Allah to Mas?”
”Bener juga sih Pak. Tapi kalo’ orang yang dekat dengan kita meninggal dunia, tetep aja rasanya sedih banget Pak, manusiawi to Pak yang namanya kehilangan itu?”
”Iya Mas, saya juga pernah merasakannya kok. Dua dari tiga orang anak saya meninggal. Yang satu kecelakaan diserempet bis AKAP, yang satunya meninggal kena demam berdarah. Uhuk .. Trus ndak lama setelah itu istri saya juga nyusul. Kata dokternya kena liver. Tapi menurut saya, istri saya ndak kuat nanggung beban kehilangan dua anak kami itu Mas.” kenang Pak Bejo. Matanya berkaca-kaca. Raut wajah tuanya menyiratkan besarnya penderitaan yang dia alami selama ini.
Riko menggigit bibir. Perasaan yang campur aduk menyergapnya, tapi dia masih memikirkan apa yang dikatakan Pak Bejo barusan ’yang namanya ’kehilangan’ itu sebenernya nggak ada’.
”Mungkin itu sebabnya kalo’ kita kena musibah diperintahkan untuk bilang ’Inna liLlahi wa inna ilaihi raji’un’ ya,” Lik Jumakir menyimpulkan.
”Bener itu Lik,” Riko menanggapi.”Biar ’kehilangan’ itu rasa sakitnya nyata tapi sebenernya ’kehilangan’ itu nggak ada.” Riko menyeruput teh-nya sebelum kembali meneruskan.”Mungkin .. ’Inna liLlahi wa inna ilaihi raji’un’, itu artinya ’sebenarnya ’kehilangan’ cuma fatamorgana’.”
Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?
Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?
* * *
Esok harinya, Riko bertolak ke Jakarta untuk mengisi sebuah pameran seminggu lamanya. Sepulang dari Jakarta, Riko mampir ke warung angkring Lik Jumakir.
”Mas Riko, seminggu ini tidak kelihatan kemana saja?” tanya Lik Jumakir
”Wah .. saya ada pameran di Jakarta Lik.”
”nJenengan sudah dengar belum? Dua hari yang lalu Pak Bejo meninggal dunia, kena TBC kronis. Mungkin karena terlalu sering kena debu jalanan.”
Riko tertegun.
”Inna liLlahi wa inna ilaihi raji’un ... ”
Arkhadi Pustaka,
Perpus FK–Plosokuning, 31 Juli 2007
teruntuk Alm. Eyang Soeprijadi (1930-2007)
Perpus FK–Plosokuning, 31 Juli 2007
teruntuk Alm. Eyang Soeprijadi (1930-2007)
No comments:
Post a Comment