Thursday, April 09, 2009

Top Ten Alasan Orang Studi Ke Belanda



10. ada info, tertarik, coba-coba ... eh ... ke Belanda

9. cita-cita sejak kecil ... (ummm ... ada ya?)

8. punya temen disana, pengen nyusul

7. denger-denger peninggalan nenek moyang kita sebagian ada di Belanda ya? pengen liat ...

6. nggak tahan di Indonesia!! sumpek ...

5. Belanda itu sexy ... uh, unbearable. Belanda itu deket sama Prancis, Jerman, Inggris, Alpen ... wuh, kalo pas summer holiday bisa jalan-jalan keliling Eropa tuh, backpacking ... ikut-ikutan Andrea Hirata.

4. biar keren dong, pernah ke luar negri gitu! Gila apa! Trus ntar foto-foto, trus dimasukin facebook deh. Masa' kalah sama Raditya Dika *grin.

3. pengen ngerasain idup di bawah permukaan laut tapi nggak kelelep

2. biar bisa mampir ke Red Light District dan bilang: "ini asli ... asli pornografi ... tanpa rekayasa!"

1. nggak mau kalah sama istri

...

Trus dimana global community-nya? Adakah itu yang namanya "Global Community"?

Personally, aku pikir komunitas global itu hanya konsep saja. Realitanya ya tergantung dengan apa yang kita lakukan sekarang, atau buat yang masih mahasiswa, apa yang akan kita lakukan nanti, dalam hidup ini. Apakah kita melakukan business as usual, jadi pegawai kantoran masuk jam8 pagi pulang jam4 sore sampe rumah dipakai untuk family time dan istirahat lalu besok pagi berangkat kerja lagi? Atau yang membagi waktu 30 jam seminggu untuk pekerjaan, 35 jam untuk tidur, 50 jam untuk family time dan sisanya untuk bersosialisasi dan hobi, atau lainnya?

Apa yang sebenarnya mau dikerjakan dalam hidup? Apakah untuk melakukan hal-hal yang kita senangi? Atau untuk memecahkan problematika masyarakat -Indonesia khususnya- yang sangat kompleks? Apakah untuk mencari keamanan finansial? Atau melakukan pelayanan untuk orang lain?

Nggak harus ke Belanda kok untuk dapetin Global Community walaupun memang Belanda itu strategis -dan mungkin jadi lebih mudah ngedapetinnya. Soal ini aku yakin udah pada tau sendiri dah.

Di dalam kepalaku, komunitas global itu artinya kita punya relasi yang nggak cuma dari dusun itu-itu aja, bisa jadi punya temen dari pelosok Argentina sana atau dari ujung utara Siberia, atau mungkin dari pinggir kanal eksotik di Amsterdam. Nah, relasi itu terkait erat dengan apa yang sedang kita lakukan. Misalnya nih, kalo' kita lagi konsen jadi pengrajin ya tentu saja kita butuh tersambung dengan ide-ide artistik yang cukup gila yang lintas batas geografis dan batas waktu. Kalo' si pengrajin ini mau bergerak sedikit saja aku rasa bisa kok jadi punya temen seniman dari Jepang atau seorang desainer interior dari daerah Mediterania.

Kalo mau realistis, coba deh itung berapa temen kita saat ini, yang bener-bener tersambung dan berinteraksi. Ketersambungan dan interaksi ini, dalam kacamataku, adalah komponen pokok sebuah komunitas. Kalo' nggak ada dua hal ini, nggak bisa itu dibilang komunitas. Terus coba telusuri dari mana aja tu dusun temen-temen kita sekarang. Paling juga itu-itu aja kan. Itu karena apa yang lagi kita kerjain sekarang mungkin belum begitu membutuhkan konsep "global community" itu.

Nah, kalo' mau ngomong soal komunitas global sebaiknya tentuin dulu deh kerjaan yang kira-kira emang ngebutuhin konsep komunitas global itu.

Apa pun yang kita kerjain, untuk mendapatkan komunitas global sebenernya cuma ada satu kunci: membuka diri. Openness.

Be grateful for whatever comes,
because each has been sent from beyond.

6 comments:

diniari said...

yup, saya setuju banget openness merupakan kuncinya global community. but...if things goes too open then what about our based,our roots,our traditions??

anyways, i still like your article very much. :D

arka said...

hm hm.

kalo terbuka dengan budaya global, semestinya orang juga harus fair dengan terbuka terhadap budaya sendiri, akar budaya lokalnya.

Orang yang hanya memilih budaya asing sama saja belum terbuka, masih pilih-pilih dan seenaknya sendiri.

Openness in a broader means will never overshadow our root, our tradition.

車輪眼 said...

eniwei betewe, saya baru nyadar kl huruf jawa tu lebih simpel timbang huruf hiragana katakananya jepun lho. Aksara Hiragana Katakana utk menyatakan ha, hi, hu, he, ho (misalnya), hurufnya sendiri2, smentara Aksara Jawagana cukup satu huruf ha tambah contreng i, u, e, o di sekitar huruf jawanya, gak rumit kan? Pun begitu, aku masih ga ingat Jawagana yg lengkap, hehehe... Coba lihat di youtube deh, di situ ada banyak komentar org China, Jepun, Arab, Vietnam, Thai, dll masing2 punya aksara sendiri, kita sbg org Indonesia cuma pake huruf latin, kayaknya ada yg kurang :p Pinginnya ada aksara Jawa di situ. Pdhl bahasa jawa termasuk top 15 bhs plg banyak pemakainya (lupa sumbernya, dulu pernah lihat di suatu web internasional).
Jd gak nyambung ya? hehe.. kesimpulannya, global community dengan menunjukkan keberagaman kita rasanya mantab deh.. bahasa lainnya, jgn hanya menerima budaya luar, tapi kita beri jg yg kita punya -busyet iklan banget, wakakakk .. -
IMHO,

車輪眼 said...

baru nyadar, selamat ya, mo lanjutin ke Belanda ni ceritanya (poin ke-10 malah kelewat ga kebaca, maaf).
Smoga sukses nyusul Istri yg di Belanda

Anonymous said...

Wah tulisannya bagus Mas...

Hhmm...Saya juga mau nyusul ah ke Belanda, sok kenal ajah, yang penting sudah di sana he he he..

Salam hangat Bocahbancar,,....

arka said...

@arif: thx. tapi kalo untuk konteks Indonesia, aksara jawa itu sangat kesukuan. Mungkin kalo di Jogja masih kontekstual, tapi dalam konteks negara-bangsa di Indonesia sangat beragam. Jadi ndak ada aksara "Indonesia".

anyway, istriku masih di Indonesia kok :)

@bocahbancar: terimakasih :)