Sebenernya, sahur 1 Ramadhan tadi cuma sahur bersama keluarga biasa. Tapi karena lagi ada isu yang hangat seputar penutupan jalan alternatif UGM, jadilah sahurnya berupa audiensi saya sebagai seorang alumni UGM dan papa saya sebagai rektor UGM.
Sehari sebelumnya, saya membaca hampir di semua koran menyayangkan penutupan jalan-jalan alternatif di UGM. Saya sendiri ketika mengetahui jalan-jalan alternatif di UGM ditutup merasa sangat dirugikan. Beberapa orang bahkan mencibir dengan mengkaitkan status UGM sebagai kampus kerakyatan.
Wuh ... dari sini kok kayaknya jadi bakal nulis agak banyak.
Momen sahur di ramadhan yang penuh berkah ini merupakan momen yang pas. Karena, kondisi papa masih fresh. Saya nggak mungkin tanya-tanya hal sensitif begini di sembarang waktu apalagi pas papa habis kondur dari kantor ... harus cari waktu yang pas. Dan Alhamdulillah ramadhan memberi jalan (padahal jalan alternatif di UGM ditutup ya?)
Saat saya mengungkapkan posisi saya dimana saya nggak setuju mengenai penutupan jalan alternatif UGM itu, papa saya mengungkapkan latar belakang pengambilan kebijakan tersebut. Nah, biar yang lain juga tahu latar belakang pengambilan kebijakan ini maka saya menulisnya di sini sejauh apa yang saya pahami.
Alasan pertama adalah, kata papa, sudah banyak nyawa civitas akademika UGM yang melayang karena perilaku berkendara di seputar kampus UGM. Sebagai orang yang sekarang berposisi sebagai "bapak" di UGM, papa merasa nggak rela bila bakal ada lebih banyak lagi civitas akademika UGM yang menjadi korban kecelakaan di kawasan UGM. Menurut papa, nyawa orang begitu berharga.
Dari sini, berkembanglah pemikiran bahwa perilaku berkendara sebagian besar masyarakat Indonesia memang nggak karuan. Dibanding menggunakan sarana transportasi massal, masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, terutama motor, dengan alasan lebih praktis dan lebih ekonomis. Hal ini dapat dipahami karena sarana transportasi massal yang layak belum tersedia. Mengapa belum tersedia? Karena memang belum diusahakan untuk disediakan oleh pemerintah. Mengapa belum disediakan? Karena kalo pakai motor masih bisa, kenapa kami (pemerintah) harus membuat sarana transportasi massal yang relatif mahal biaya investasinya ... ya gunakan saja jalan alternatif yang ada seperti jalan-jalan yang ada di UGM misalnya.
Menurut papa, dulunya jalan-jalan di UGM adalah jalan setapak, bukan jalan negara. Jaman dulu kondisi UGM masih enak dipakai untuk bersepeda dan berjalan kaki. Namun zaman berubah, masyarakat menggunakan jalan-jalan di UGM. Yang dalam pandangan saya, ini berangkat dari cap bahwa UGM adalah kampus kerakyatan sehingga publik berhak memanfaatkan sarana prasarana di UGM. Karena publik menggunakan jalan-jalan di UGM sebagai jalan alternatif, kondisi di UGM jadi kurang enak dipakai untuk bersepeda dan berjalan kaki.
Budaya berjalan kaki kemudian hilang. Orang lebih suka naik motor yang lebih praktis dan ekonomis. Namun ketika budaya berjalan kaki hilang, ada hal lain yang hilang. Interaksi antar manusia juga berkurang. Sebagai contoh ketika papa memulai budaya berjalan kaki, beberapa penjaga kendaraan kurang ramah. Namun, dengan berjalan kaki, papa dapat menyapa penjaga kendaraan ybs dan mengajaknya untuk murah senyum. Dan alhamdulillah penjaga kendaraan itu jadi lebih murah senyum. Interaksi sosial hilang ketika budaya transportasi kita menjadi budaya motor.
Ketika budaya berjalan kaki hilang, resiko penyakit yang diakibatkan oleh kurangnya aktifitas fisik juga meningkat. Dari pengamatan papa, banyak dosen yang tutup usia di usia 50-an karena penyakit-penyakit yang diakibatkan kurangnya aktifitas fisik seperti diabetes dan kolesterol. Hal ini terjadi karena dosen-dosen berkutat dalam kesibukan kognitif kurang aktifitas fisik. Bahkan beberapa petinggi kampus diantar sampai di depan pintu kantor menggunakan mobil sehingga aktifitas fisiknya berkurang. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi papa.
Alasan kedua terkait dengan proses pembelajaran mahasiswa. Dengan mudahnya akses jalan dan kepraktisan motor, mobilitas mahasiswa sangat tinggi. Sehingga budaya belajarnya menjadi tidak terbangun. Mahasiswa lebih memilih untuk pergi ke luar kampus setelah selesai kuliah dan kemudian kembali lagi ke kampus hanya ketika ada kuliah atau praktikum. Tingkat okupansi perpustakaan juga sangat rendah, karena di waktu luang antar kuliah mahasiswa lebih memilih untuk berpindah ke kos-kosan teman atau pulang atau ke tempat lain yang kurang berhubungan dengan aktifitas akademik. Padahal, kata papa potensi mahasiswa UGM itu luar biasa cerdas. Namun karena tidak memiliki budaya belajar yang baik, kurang fokus dan terlalu banyak kegiatan di luar kampus, maka mahasiswa UGM kurang bersaing di level internasional.
Wuah ... kok aku jadi overwhelmed sama idenya papa ya ...
Posisi saya sebagai alumni dan publik yang merasa berhak menggunakan jalan-jalan alternatif di UGM itu sebenarnya masih nggak begitu setuju dengan penutupan jalan itu karena penutupan merugikan saya. Sebagai contoh, ketika mengantar istri di FK UGM kemudian akan ke kampus UNY, saya harus berputar cukup jauh atau terjebak macet di perempatan Mirota. Sebel.
Namun, ketika mendengar latar belakang pengambilan kebijakan itu saya berusaha memahami bahwa saya mungkin harus berkorban dengan mengambil jalan memutar untuk membangun tradisi dan budaya yang lebih baik untuk masa depan. Indonesia yang memiliki permasalahan kompleks membutuhkan banyak pemimpin berkualitas. Dan pemimpin yang berkualitas dapat dicetak melalui pembelajaran yang berkualitas di kampus. Pembelajaran dalam hal ini adalah pembelajaran yang komprehensif sebagai manusia, di samping tentu pembelajaran yang bersifat akademik. Mahasiswa sebagai calon pemimpin perlu belajar berjalan kaki dan bertegur sapa dengan petugas kebersihan, penjaga kendaraan, dosen dan civitas akademika lain. Mahasiswa sebagai calon pemimpin perlu belajar bagaimana belajar yang fokus dengan membangun logikanya di perpustakaan, di ruang-ruang diskusi kampus.
Dari sini saya berpikir untuk meredefinisi jargon kampus rakyat. Apakah yang namanya kampus rakyat itu harus selalu mengikuti kehendak dan kepentingan publik. Ataukah yang namanya kampus rakyat itu kampus yang membangun tradisi-tradisi positif untuk menciptakan masyarakat yang lebih bermartabat.
Namun, ketika saya diskusikan dengan istri saya, masih ada satu hal yang mengganjal. Kenapa di boulevard harus dipasang portal dan harus mbayar? Mungkin di sahur-sahur yang berikutnya saya akan berusaha mendiskusikannya kembali dengan papa.
No comments:
Post a Comment