– copy-paste dari status Bapak mertua di facebook.
PUASA DITENGAH KEMAJEMUKAN WARGA BANGSA
Abdul Muhaimin
Puasa menjadi ritus besar bagi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jauh hari sebelum Romadlon tiba, semua aparat birokrasi sibuk untuk menciptakan nuansa islami dengan kebijakan yang akan mendukung sakralitas dan kekhusukan bulan Romadlon, sejak dari operasi ketertiban masyarakat berupa razia miras, pembatasan jam buka tempat hiburan malam hingga penyediaan logistik/sembako agar tidak mengurangi sedikitpun religiositas Romadlon. Media masa elektronik yang sebelumnya penuh dengan isu perselingkuhan, gossip-gossip seksual dan kekerasan, tiba-tiba merubah kebijakan tayang di bulan Romadlon dari sense rating pasar menjadi media religious dengan pesan-pesan moral dan kemanusiaan.
Rasanya dosa besar bagi seorang muslim yang tidak mensyukuri dukungan semua pihak terhadap penciptaan suasana religious bulan yang disucikan itu. Betapa bangganya melihat spanduk besar terbentang di persimpangan jalan mengajak semua orang agar menghormati orang yang sedang berpuasa, kemudian warung-warung makan atas nama toleransi dan penghargaan harus di beri tirai agar tidak mencolok dan menyinggung perasaan keagamaan umat Islam. Seperti dunia mimpi, bangsa Indonesia yang penuh keragaman dalam sekejap tiba-tiba menjadi masyarakat monokultur; religious, Islami dan Spiritualistik. Religiousitas dan spiritualitas yang direkayasa oleh pasar dan dipaksakan Negara.
Menyaksikan fenomena itu, muncul romantisme nostalgik dengan suasana religiositas masa kecil yang tumbuh secara kultural, Tidak ada tayangan menu Romadlon di televisi, tanpa program pesantren kilat ataupun kultum subuh dan tanpa melibatkan birokrasi, tetapi religiositas tumbuh dari ketulusan penghayatan agama dan interaksi personal saat minum jaburan seusai tarawih di surau surau kampung atau kerikuhan tetangga non muslim yang malu karena tidak berpuasa. Itulah religiositas yang membumi, religiositas yang tidak akan hilang karena usainya bulan Romadlon.
Kita tentu tidak mungkin memutar mundur jarum sejarah. Namun keislaman sejati, senyatanya hanya tumbuh dari dalam diri kita, bukan dipaksakan oleh negara ataupun rekayasa pasar yang didukung oleh kapitalis dunia. Kemulyaan Romadlon bukan berarti peng-absahan bagi muslim untuk memaksa orang lain menghormati orang yang sedang berpuasa, meskipun demikian, ada etika kebangsaan yang menuntut kesediaan umat lain mengapresiasi secara tulus momentum pencarian spiritual yang memang sangat dibutuhkan untuk membenahi kerusakan moralitas bangsa saat ini.
Ketulusan, penghormatan timbal balik memang sangat diperlukan, agar bulan Romadlon tidak menjadi ajang kejumawaan kelompok tertentu yang mendeklarasikan sebagai garda depan dalam mempertahankan kehormatan dan kemulyaan Islam. Sementara kaum muslimin harus sadar, kemulyaan Islam bukan karena jasa kelompok tertentu, dan kemulyaan Islam tidak akan terkurangi karena pelecehan yang dilakukan oleh mereka yang tidak senang terhadap Islam. Islam tidak pernah sedikitpun tercemar oleh ejekan dan makian orang yang membenci Islam, dan Islam juga tidak akan menjadi unggul karena dipuji dan dibela oleh orang Islam. Kalau toh kemudian semua manusia di bumi membenci dan meninggalkan ajaran Islam, Islam tidak akan rugi karena manusia sendirilah yang justru sangat rugi. Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak diturunkan 15 abad yang lalu dan kita tidaklah perlu berteriak keras untuk menunjukkan kemulyaan dan kesempurnaan Islam.
Romadlon baru kita tapaki beberapa hari, masih panjang waktu permenungan dan pencarian keutamaan bulan Romadlon, tentunya kita berharap disepuluh akhir bulan Romadlon kita akan menemukan religiositas dan spiritualitas yang senyatanya dlm malam lailatul qodar. Amiin Ya Mujibas Sailin.
Catatan : Tulisan diatas adalah naskah simpanan Romadhon bbrp tahun lalu
No comments:
Post a Comment