Rilis nilai Tes Kemampuan Akademik (TKA) SMA pada tanggal 23 Desember 2025 kemarin, khususnya untuk mata pelajaran Matematika Dasar, mengejutkan sebagian orang. Rata-rata nasional berada di kisaran 30-an, dengan sebagian besar siswa, 75 persentil-nya, bahkan tidak mencapai skor 50. Beberapa orang mungkin akan memaknainya sebagai sinyal kemerosotan kualitas pendidikan. Namun saya perlu menekankan dua hal ini sejak awal. Pertama, klaim “penurunan performa siswa” tidak sah secara metodologis. Kedua, TKA itu sendiri bukan alat ukur yang bebas dari persoalan.
TKA bukan asesmen longitudinal. Ia tidak memiliki baseline historis yang dapat dibandingkan secara setara lintas waktu. Tanpa proses equating, dan tanpa desain pelacakan kohort, TKA tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan apakah kemampuan siswa hari ini lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya. Dari sudut pandang ilmu pengukuran, menyebut hasil ini sebagai “penurunan” adalah lompatan logika.
Namun, mengkritik keterbatasan TKA tidak otomatis berarti mengabaikan apa yang ditampakkannya. Meski secara psikometrik patut dipertanyakan, pola skor TKA Matematika SMA justru selaras dengan gambaran yang telah lama kita kenal dari berbagai sumber lain. Dalam hal ini, TKA menjadi sebuah indikator kasar yang kebetulan sejalan dengan bukti historis.
Selama lebih dari dua dekade, asesmen internasional seperti PISA secara konsisten menunjukkan kelemahan Indonesia pada literasi matematika —terutama pada aspek penalaran, pemahaman konteks, dan pemecahan masalah non-rutin. Pola yang sama juga muncul dalam laporan-laporan lapangan para guru, komunitas pendidik, dan gerakan literasi numerasi seperti Gernas Tastaka. Narasi ini bukan barang baru, dan jelas tidak lahir bersama TKA.
Karena itu, nilai rendah TKA tidak seharusnya dibaca sebagai gejala kemerosotan mendadak, melainkan sebagai cerminan dari masalah struktural yang telah lama mengendap. Jika ada yang “baru” dari TKA, itu bukan kondisi siswanya, melainkan visibilitas masalahnya. Angka-angka tersebut terasa mengejutkan bukan karena realitasnya berubah, tetapi karena ia jarang dipaparkan secara telanjang di tingkat nasional.
Akar persoalan ini tidak berada di SMA, apalagi pada angkatan siswa tertentu. Ia tertanam jauh lebih awal, terutama dalam pembelajaran matematika di Sekolah Dasar. Selama bertahun-tahun, matematika di kelas awal lebih sering diperlakukan sebagai keterampilan prosedural: menghafal algoritma, meniru contoh, dan mengejar jawaban benar. Pemahaman konseptual, diskursus matematis, dan refleksi atas kesalahan pemahaman yang dimiliki anak jarang menjadi highlight proses pembelajaran matematika di dalam kelas.
Model pembelajaran prosedural seperti itu menghasilkan ilusi kompetensi. Siswa tampak mampu “mengikuti” pelajaran, naik kelas, dan lulus ujian sekolah. Namun fondasi numerasi yang rapuh itu bersifat kumulatif. Ia diwariskan dari SD ke SMP, lalu ke SMA. Pada titik tertentu —ketika soal menuntut integrasi konsep dan pemaknaan konteks— struktur tersebut runtuh. Hasil TKA, seberapa pun problematis instrumennya, somehow berhasil menangkap keruntuhan tersebut.
Di sinilah pentingnya untuk Kita berhati-hati agar kritik terhadap TKA tidak berujung pada pengingkaran masalah yang lebih besar. Menyalahkan instrumen semata berisiko menjadi jalan pintas untuk menghindari refleksi sistemik. Sebaliknya, menerima TKA secara mentah-mentah juga berbahaya, karena ia memberi ilusi ketepatan ukur yang belum tentu dimilikinya.
Posisi yang lebih jujur adalah ini: TKA bukan alat ukur yang ideal, tetapi hasilnya konsisten dengan sejarah panjang kelemahan numerasi di Indonesia. Ia tidak membuktikan penurunan performa siswa, namun juga tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai “sekadar hasil tes yang buruk”.
Oleh karenanya, respons kebijakan yang rasional bukanlah panik, bukan pula defensif. Fokus pada perbaikan di SMA tanpa menyentuh pembelajaran matematika di SD hanya akan mengulang siklus yang sama. Selama cara anak-anak belajar memahami angka, besaran, dan relasi tidak dibenahi sejak awal, apa pun nama asesmennya, angka rendah akan terus muncul. Perbaikan proses pembelajaran matematika yang mendasar perlu dilakukan. Masalah yang terpotret oleh TKA bukan masalah yang terjadi pada satu generasi siswa. Masalahnya adalah hutang pedagogis yang telah menumpuk lama. TKA, dengan segala keterbatasannya, kebetulan membuka sedikit tirai yang memungkinkan kita, masyarakat awam, mengintip kenyataan tersebut.
1 comment:
...cerminan masalah struktural, yang tidak pernah disadari atau diakui, apalagi dipaparkan.
Post a Comment