Thursday, May 31, 2012

Fallacy Jenis "Jumping to Conclusion" dari Keluarga "Faulty Deduction"

Ada yang mengkritisi pernyataan ini:

"Kita tidak perlu menghakimi keburukan orang lain. Biarlah itu urusan dia dengan Tuhannya. Hanya Tuhan yang berhak menghakimi, di akhirat kelak."

dengan premis berikut:

"Jika saja hanya Tuhan yang berhak menghakimi, mari kita bubarkan semua lembaga peradilan, karena manusia tidak berhak menghakimi bukan? Mau orang korupsi, mencuri, menjadi gay dan lesbian, menghina agama, bahkan membunuh orang lain, biarkan saja. Toh kita tidak berhak menghakimi orang lain kan? Hanya Tuhan yang berhak. Jadi jika ada polisi yang coba mendenda kita karena buang sampah atau merokok sembarangan di Singapura, tampar saja si sok tahu itu, dan katakan: “hanya Tuhan yang berhak menghakimi saya!!” Jika kita hanya membiarkan Tuhan yang mengadili semua keburukan-keburukan manusia di dunia, kita tidak perlu hukum lagi."

Kesalahan fatal premis kritis di atas adalah loncatan ranah person-to-person ke ranah person-to-society.

Pernyataan awal tentang hanya Tuhan yang berhak menghakimi itu ranahnya person-to-person. Contoh, kalo' saya nggak suka sama pendapat/keyakinan orang lain bukan berarti saya boleh menghukum orang yang pendapat/keyakinan-nya tidak kita sukai secara langsung dengan cara memukulinya, misalnya. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga hukum untuk mengatur hubungan individu dalam kerangka masyarakat (person-to-society). Kalo' Anda punya masalah sama orang, ya bawalah ke ranah hukum. Hukum ~ Hakim ~ Hikam (Kebijaksanaan).

"Jika kita membiarkan Tuhan yg mengadili, kita tidak perlu hukum." <~ ini pernyataan fallacy. Karena bahkan Tuhan meng-endorse lembaga hukum agar menegakkan keadilan, dan Tuhan tidak meng-endorse -bahkan melarang- individu berbuat semena-mena terhadap orang lain (baca: main hakim sendiri). Dengan adanya penegakan hukum, tercipta tatanan masyarakat. Pernyataan fallacy tadi mungkin didorong kekecewaan terhadap lembaga hukum yang tidak bekerja semestinya.

Kalau saya merasa diperlakukan tidak adil, maka saya akan membicarakannya baik-baik dengan orang yang berbuat tidak adil terhadap saya. Jika tidak tercapai penyelesaian, carilah keadilan pada lembaga hukum, bukan dengan menebar ancaman dan kekerasan.

But anyway, jika ada keburukan tentu sah-sah saja kita sebagai individu mengingatkan "eh, itu nggak baik lho." Yang membuat berbeda tentu adalah posisi mengingatkan (dengan tulus) dan menghakimi (dengan kebencian).

Tuesday, May 29, 2012

CTP-06: Why museum is an important object of study for an instructional engineer?

Bulan ini saya nggak ada pertanyaan yang spesifik yang bisa saya bahas dalam seri catatan teknologi pembelajaran. Tapi kebetulan, minggu lalu saya dan keluarga berkunjung ke National Air & Space Museum (NASM) dan National Museum of Natural History (NMNH) di Washington DC dan terpana. So, saya mau berbagi kesan yang saya dapet dari kunjungan ke kedua museum itu.

Ya, saya mengakui kalo' saya ndeso. Saya literally gejedug tiang waktu pertama kali masuk ke aula besar-nya NASM saking ndomblong ngliatin pesawat-pesawat yang dipajang di langit-langit museum. Melihat koleksi museum dalam ukuran asli-nya emang memberi pengalaman dan kesan yang berbeda dari sekedar liat di buku atau -bahkan- virtual tour-nya di Internet.

Pertanyaannya, kenapa museum adalah salah satu objek penting dalam lingkup teknologi pembelajaran? Ya jelaslah, karena melalui museum kita bisa bikin orang belajar. Meskipun, tujuan museum itu bisa saja sekedar menyimpan koleksi tanpa harus membelajarkan.

Sayangnya, sepanjang pengalaman saya jalan-jalan ke museum-museum di Indonesia jarang-jarang ada museum yang memberikan pesan pembelajaran yang kuat. Kebanyakan museum menyajikan tumpukan informasi tentang koleksi. Ya nggak salah sih, dan bukan berarti mengakuisisi informasi baru itu nggak belajar. Belajar juga. Tapi dalam bayangan saya, museum sebenernya sangat mampu dibawa ke level selanjutnya: menginspirasi.

Tantangan utamanya, pengunjung juga kadang ke museum tidak dalam kondisi untuk belajar tapi sekedar jalan-jalan dan cuci mata. Kebanyakan motif-nya paling untuk bisa bilang "eh, aku pernah lho ke museum yang itu." Tapi tidak sedikit juga sebenarnya pengunjung museum yang berharap lebih seperti guru-guru TK yang membawa murid-muridnya ke museum waktu akhir tahun ajaran. Bayangkan dampak jangka panjangnya kalau anak-anak TK itu sampai bisa terinspirasi oleh kunjungan mereka ke museum.

Saya melihat sendiri bagaimana reaksi anak saya ketika melihat kupu-kupu yang biasanya cuma dia lihat di Internet, jadi nyata dan beterbangan di sekeliling dia di paviliun Live Butterfly-nya NMNH: bahagia. Tentu saja, apa yang bisa menggantikan first hand experience dalam belajar? Museum mampu membawa dunia gambar-gambar dua dimensi menjadi objek tiga dimensi dalam ukuran yang sebenarnya, hidup pulak.

Pe-eR besar untuk teknolog pembelajaran salah satu-nya adalah bagaimana merancang exhibit yang bisa memberikan kesan mendalam. Ngayal ya?

Nggak juga sebenernya.

Saya ambil contoh kasus saya di NMNH ya. Subjektif sih emang :p

Ada satu displai di NMNH yang paling berkesan buat saya. Displai Dinggo, anjing liar Australia. Dinggo itu pendatang di Australia dari Indo-Cina. Sebelumnya ada hewan lain -yang saya lupa namanya- yang native Australia dengan spesifikasi yang mirip Dinggo: karnivora, tapi sudah punah karena kalah bersaing dengan Dinggo. Kenapa? Karena Dinggo berburu secara berkelompok (kooperatif), hewan asli ini berburu secara individual. Pesannya jelas: kalo' Anda mau bertahan hidup seperti Dinggo, bekerjalah dalam kelompok. Jangan egois. Bagaimana saya bisa mendapatkan pesan itu? Karena saya membaca papan keterangan di displai itu. Bagaimana saya tertarik membaca papan keterangan yang biasanya menjemukan itu? Karena saya memencet tombol yang sangat menarik untuk dipencet, dan ketika dipencet tombol itu memberikan efek kejut pada displai. Sayang sekali saya lupa motret displai ini, jadi saya ceritakan verbal saja. Jadi to, displai itu jika dilihat sekilas hanya replika Dinggo dengan latar belakang kain putih. Tapi ketika tombol ditekan, lampu yang menyinari Dinggo padam, dan ada lampu yang menyinari objek dibalik kain putih -yang tidak lain adalah hewan yang telah punah tadi- sehingga kita dibikin terkejut karena tadinya kita nggak sadar ada objek itu sebelumnya.

Di situ saya belajar dan membawa pulang kesan. Terlebih lagi saya menuliskannya di blog ini, jadi lebih mbekas lagi -ya iyalah, lha wong trus ada catetannya-.

Where does it live?
How big or small is it?

Kesan lain yang saya dapet dari NMNH adalah bahwa pengunjung digerojok abundant exhibits dengan keindahan tata displai yang memberikan nuansa "the great nature wonders". Yang meskipun setelah keluar dari museum seorang pengunjung bisa saja tidak membawa pulang informasi baru secuil pun, setidaknya bisa bilang "that was AWESOME!"

Saturday, May 19, 2012

Aku, Saya dan I

-sekedar merangkum serpihan-serpihan yang terserak di twitter

Kalo' menyebut 'diri sendiri' alias memakai kata ganti orang pertama tunggal itu enaknya 'aku' atau 'saya'?

'Aku' itu asal katanya dari Bahasa Belanda: 'Ik', yang kalo' nggak salah bacanya 'eyke'. Ya.. yang diadopsi sama komunitas melambai jadi "yuukk, cyiiinn.. eyke makarena dulu, lapangan bola nih." Semacam itu lah. 'eyke' (Belanda) berasal dari bahasa Latin 'ego' dan atau Yunani 'εγώ' (epsilon gamma omega; yang juga dibaca 'ego'). Dan sepertinya akar kebudayaan manusia (yang agak lucu-lucu itu) memang dari kebudayaan Yunani. Konsep 'ego' ini trus dipanjang lebarkan sama Freud. Kalo' ada waktu boleh baca di sini. Inti-nya sih kira-kira 'ego' itu ya jati diri kaitannya sama kepribadian, kecerdasan dan bla bla bla yang saya tidak paham itu.

Sedangkan 'saya' bisa jadi datang dari bahasa Sanskrit छाया (Chhaya) yang artinya 'bayangan'. Dalam perspektif 'saya' ~ 'bayangan' rasanya lebih transendental daripada 'aku' ~ 'ego'. Walopun mungkin bagi sebagian orang, 'saya' lebih formal dan tidak egaliter dibanding 'aku'. Itu penyesatan ideologi! Sebenernya lebih songong 'aku' daripada 'saya' karena 'aku' ~ 'ego' ~ 'gue', macam "Gue dong.." atau "Gue gitu loh!" (halah, serius amat bang?). He he.. itu sih masalah rasa bahasa dan perspektif, bukan gathuk mathuk etimologi. Ketransendentalan 'saya' itu terwujud dalam sebuah pertanyaan:

Jika saya hanyalah bayangan, maka siapakah sejatinya diri ini?

Bangsa Indonesia punya khazanah bahasa yang luar biasa kaya tentang kata ganti orang pertama tunggal yang patut bikin bangga orang Indonesia. Orang Padang punya 'ambo', orang Jawa punya 'kulo' dan 'dalem', orang Bali punya 'tiang', orang Makassar punya 'nakke', orang Manado punya 'kita' atau 'torang' dari kata 'kitorang' ~ 'kita orang'. Semuanya punya nuansa transendental.

'Ambo' dan 'Kulo' itu dari 'hamba' dan 'kawulo' alias seseorang yang melayani.

Jadi, ambo hambanya siapa? Dan, kulo kawulonya siapa?

'Dalem' itu bahasa Jawa halus. Misalnya kalo' dipanggil ibuk ya jawab "dalem...". Kosakata ini menarik karena dalam bahasa Jawa, 'dalem' juga berarti rumah. Pertanyaannya...

Dalem griyanipun sinten? Dalem itu rumahnya siapa?

Orang Bali lebih eksplisit lagi karena 'tiang' itu nggak jauh beda sama 'hyang'. Bedanya 'tiang' itu punya rasa bahasa 'bumi' dan 'hyang' itu punya rasa bahasa 'langit'.

Sedangkan orang Manado memakai 'kita' sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Nggak salah tuh? Bukannya 'kita' itu dalam bahasa Melayu dipakai sebagai kata ganti orang pertama majemuk?. Pertanyaannya:

Jika ternyata diri ini tidak sendiri, kita itu berarti sama siapa?

Yang menarik, ternyata kalo' dicari-cari kata 'I' dalam bahasa Inggris punya hubungan dengan kata انا (ána) dalam bahasa Arab yang datang dari bahasa Proto-Semitik '*ʔanāku' yang bisa jadi juga asal muasal kata 'nakke', kata ganti orang pertama tunggal dalam bahasa Makassar. Kata '*ʔanāku' (Proto-Semitik) yang artinya saya bisa jadi berhubungan dengan kata '*ainaz' (Proto-Germanik) yang artinya satu. Sehingga kata 'ána' (Arab) ini bisa jadi punya hubungan sama kata Yunani 'ένας' (epsilon nu alpha sigma, dibaca enas) dan 'uno' (Spanyol) atau 'one' (Inggris) yang arti-nya: satu. Apa hubungannya sama 'I' dalam bahasa Inggris? 'I' (Inggris) asalnya dari Proto-Germanik '*ekan'. Ya sama lah sama 'Ich' (Jerman) dan 'Ik' (Belanda) tadi, larinya ke 'ego' (Latin) juga. Tapi coba liat, 'I' (Inggris) itu sama dengan angka Romawi: I (satu). Artinya, 'ána' (Arab) ~ 'I' (Inggris), sama-sama punya keterkaitan dengan angka 1. Masuk akal sebenarnya, namanya juga kata ganti orang pertama dan tunggal.

Dimana nuansa transendentalnya 'I'? Kalo' 'I' dipandang sebagai kata ganti orang PERTAMA dan TUNGGAL pula, memang berpotensi mengkotakkan persepsi terhadap kata 'I' pada makna DIRI dan SENDIRI pula. Kecuali, kalo memandang 'I' bukan sebagai tunggal tp manunggal dan mempertunggalkan. Atau, memandang 'I' bukan sebagai satu tetapi menyatu dan mensatukan, bukan sebagai wahidun tetapi tauhid...

Dyar!! Ambyar total XD

Friday, May 18, 2012

Segeran Bu...

Itu tagline-nya mbok jamu yang suka lewat di depan rumah Mino.

Kalo' situ suka intip-intip blog saya, mungkin memperhatikan tampilan blog ini jadi lebih 'modern'. He he ... Lha iya wong template-nya saya ganti. Kenapa kok diganti? Biar ada tombol yang pernak-pernik di bawah postingan itu lho. Ndeso ya saya? Hi hi hi XD

Konsekuensinya, ada link yang kehapus, yang isinya Science Fair Guideline terjemahan saya. Tapi kok rasanya insignifikan. Trus links ke blog tetangga juga pada ilang. Tapi pelan-pelan saya restorasi.

Yang jelas, setelah tampilan blog ini serupa tapi tak sama dengan yang dulu lagi saya merasakan sedikit 'lepas dari status quo' itu asik lho ternyata. Just be curious to try something new, with the calculated risk taking.

Thursday, May 17, 2012

Ocehan Nana

Dimulakan ketika saya dan Nana ke Greenspring Shopping Center, tepat di hari ultah saya yang ke 29 versi Gregorian, saya kok jadi kepengen nyatetin ocehan-ocehannya Nana. Siapa tahu kalo' Nana udah bisa baca bisa ngiklik sendiri.

Awalnya sih cuma saya catet di status facebook, trus saya kumpulin di Notepad, dan sekarang karena lagi nggak punya kerjaan saya pindahlah catetan saya di notepad itu ke blogspot. Walhasil, inilah: Ocehan Nana

Tuesday, May 08, 2012

Prisma Pelangi

Sebenernya ini postingan telat, tapi nggak apa-apa lah. Percobaan ini udah saya bikin bulan April lalu, tapi baru saya posting di blog Mei ini. Sebab? Males nulis...

Ok, alkisah bulan lalu sebelum cuaca Spring di Baltimore berubah jadi agak Winter yang dingin dan bikin males ituh, matahari sore bersinar cerah sekali. Setelah saya posting tentang kunang-kunang cahaya, saya jadi tertarik untuk bikin pelangi untuk Nana. Membuat sepotong pelangi tepatnya.
Ada banyak cara untuk bikin pelangi: dengan seember air dan kaca (tapi saya nggak punya kaca portabel), atau dengan water spray (tapi pelanginya cuma muncul tipis dan sesaat), atau dengan ... PRISMA!

Bikin pelangi dengan prisma itu textbook banget. Kalo' baca buku pelajaran tentang dispersi cahaya dijamin ada gambar prisma segitiga dilewatin sinar putih trus sinarnya terdispersi jadi pelangi. Tapi apakah Anda pernah mencoba bikin sendiri percobaan macam yang ada di gambar-gambar di buku itu? Jangan-jangan gambarnya cuma hoax tuh?! Wekekekeee... nggak ding kalo' hoax. Tapi pengalaman bikin pelangi sendiri itu, yakin, tak tergantikan sama gambar yang ada di buku itu.
So... mulailah saya bikin improvisasi percobaan prisma pelangi berbasis bahan rumahan

Bahannya sederhana: plastik mika keras, saya pakai bungkus lampu kayak yang di gambar inih:


Potong 3 buah bujur sangkar 1 inch x 1 inch dan 1 buah segitiga sama sisi dengan sisi 1 inch. Lalu, rekatkan potongan2 plastik mika keras itu tadi dengan lem bakar (lem tembak/lem silikon) sehingga terakit sebuah prisma segitiga tanpa tutup. Kemudian, isi prisma tersebut dengan air. Trus biar kayak di buku-buku textbook, ya potonglah karton (saya pake karton sereal) yang dibikin "jendela" kecil untuk lewat sinar matahari seperti gambar di bawah:


Ubah-ubah posisi prisma terhadap cahaya sampai keluar dispersi pelangi-nya.
Selain pakai "filter", prisma rumahan ini juga bisa dipake free-hand, citra pelangi-nya bisa "dipegang" hehehe. Ini Nana lagi "pegang" pelangi:


Kalo' tambah sore, dan sudut datang cahaya matahari-nya berubah, "filter"-nya juga bisa diubah-ubah posisi-nya. Adjusting ini bagian yang paling menyenangkan dari sebuah percobaan. Dan "Aha!" adalah ketika potongan pelangi-nya muncul.

Naaahhh... kalo' di-close up, potongan pelangi-nya tampak kayak gini:


Trus, saya iseng-iseng bikin proyeksi lintasan cahayanya. Dan saya baru sadar, kalo' selain menampilkan dispersi cahaya, prisma rumahan ini juga menampilkan fenomena cahaya yang lain: PEMANTULAN SEMPURNA!

Garis warna putih itu cahaya datang matahari dan cahaya matahari yang keluar dari prisma akibat pemantulan sempurna. Garis yang oranye itu garis perkiraan saya terhadap lintasan cahaya matahari yang terbiaskan di dalam prisma. Garis yang kuning itu garis dispersi pelangi-nya.

Well, gimana? Pengen nyoba bikin sendiri nggak? Gampang lho bikinnya...

Tuesday, May 01, 2012

Gambarnya DFT

Karena sempet nyinggung soal Teori Bunga Rumput a.k.a. Dandelion Flower Theory #dft di Twitter, tampaknya saya perlu nempelin gambar di sini soalnya gaptek dan nggak merasa nyaman nempelin gambar di Twitter.



Gambar ini saya tempel, khususnya, utk Nana. Hehehe.



Singkatnya, In.1 - In.4 itu input belajar: 1) apa yang dibaca, 2) apa yang dilihat, 3) apa yang dialami, dan 4) apa yang didengar. Input yg beragam itu diproses pada segitiga P = Proses berPikir. Secara sederhana proses berpikir itu generating the question (?) - finding the answer (!) - checking the answer (?). Proses itu menghasilkan Out(put): pengetahuan. Pengetahuan yang matang menjadi benih-benih ilmu dan perilaku. Ketika datang angin Momentum (M) benih-benih itu tersebar.

Belajar ibarat bunga Dandelion yang menyerap saripati tanah, kemudian mensintesis benih-benih yang siap diterbangkan angin.

Entah kenapa kok saya lagi males nulis banyak ya... Jadi saya cuma bisa nulis ringkasannya aja. Hehehe. Kalo' ada pertanyaan sumonggo, bisa lewat komen bisa lewat @arkhadipustaka ;)