Wednesday, August 08, 2012

Catatan Ramadhan - 02

Pukul 5 sore di Baltimore, Amerika Serikat, matahari masih bersinar terik. Saya berjalan menuju stasiun kereta Lexington Market hendak pulang ke apartemen dari membeli bahan-bahan untuk masakan berbuka puasa di toko kelontong Cina yang menjual bahan makanan Indonesia seperti mie instan, cincau kaleng dan sirup. Di tengah keramaian lalu lalang pejalan kaki, mobil dan kereta komuter seorang African American berdiri di depan sebuah bangunan kuno di pojok jalan dan kemudian mengumandangkan adzan. Adzan Ashar, tanpa pengeras suara.

Sontak saya membelokkan langkah, yang tadinya hendak ke stasiun jadi berjalan menuju bangunan kuno itu: Masjid Us-Salaam. Entah karena suasana Ramadhan, atau terpesona oleh adzan dari muadzin yang tulus dan sederhana, seketika itu juga saya merasa berdosa seandainya tidak membelokkan langkah ke masjid. Padahal tidak demikian rasanya ketika di Indonesia. Maklumlah, di sini jarang-jarang saya mendengar adzan dikumandangkan. Beda sekali dengan di Indonesia dimana hampir setiap RW punya masjid yang rutin memperdengarkan adzan lima kali sehari. Saking rutinnya, adzan seperti sudah menjadi hal yang biasa didengar sambil lalu.

Sembari menunggu iqamah, saya bercakap-cakap dengan Abdul, si muadzin. Saya memperkenalkan diri dari Indonesia dan dia menimpali bahwa dia sudah tahu saya dari Indonesia ketika melihat peci yang saya pakai. Ternyata Abdul tahu sedikit banyak tentang Indonesia, tentang negara dengan kontingen haji terbesar setiap tahun dengan seragam yang khas dan tentang negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia. Sebagian besar masyarakat muslim Amerika tahu tentang fakta itu. Tapi pertanyaan berikutnya membuat saya malu. Abdul bertanya bagaimana keadaan di Indonesia, apakah Al-Quran sudah terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya menjawab sejujurnya: belum. Meski Abdul bisa memaklumi, "semakin banyak orang semakin banyak masalah" katanya, tetap saja saya merasa malu.

Saat di stasiun kereta, saya memandangi masjid di ujung jalan itu. Masjid Us-Salaam ini dulunya adalah sebuah bank yang sempat berubah fungsi menjadi pub. Bangunannya bergaya arsitektur Palazzo dengan aksen Italia, dibangun pada tahun 1904 dari bekas hotel Saratoga. Bangunan ini berubah fungsi menjadi masjid pada tahun 2004. Tidak ada kubah, tidak ada menara, bangunan ini mempertahankan bentuk aslinya, menjadi satu dengan deretan bangunan kotak lain di sebelahnya yang kosong. Satu-satunya yang menandakan bahwa bangunan ini adalah masjid adalah papan nama berwarna hijau di atas pintu masuknya. Kesederhanaan masjid ini mencerminkan kesederhanaan jamaahnya, namun gaya arsitekturnya yang klasik dan beraksen menyuarakan dengan lantang besarnya semangat keberagamaan mereka. Saya tidak bisa membayangkan betapa keras usaha sekelompok orang yang mengusahakan sebuah masjid tepat di jantung kota Baltimore, mengakuisisi sebuah gedung cagar budaya, di tengah-tengah kompleks perdagangan Lexington Market.

Semangat beragama mereka yang tinggi dibalut dengan wajah yang ramah. Abdul tidak menghakimi ketika mengetahui saya melaksanakan tarawih di rumah saja. Shalat Isya' pada Ramadhan di sini dilaksanakan di atas pukul 21.15. Umumnya shalat Isya' digelar pukul 22.00 yang dilanjutkan 8 rakaat tarawih dengan mengkhatamkan 1 juz. Shalat tarawih baru selesai pukul 24.00. Oleh karena itu, Abdul memahami bahwa seorang mahasiswa yang tidak punya mobil dan bergantung pada transportasi umum seperti saya sebaiknya tidak keluar ke downtown malam-malam disebabkan tingginya tingkat kriminalitas.

Sejujurnya, saya merindukan shalat tarawih di Indonesia dari masjid ke masjid dan merasakan atmosfer Ramadhan yang begitu kental. Saya juga merindukan jajanan dan minuman untuk berbuka yang digelar setiap sore di pinggir jalan, juga warteg yang buka sampai shubuh untuk menyediakan makan sahur. Namun kalau hanya kerinduan terhadap makanan Indonesia, bisa terobati saat pengajian dan buka bersama belasan keluarga Indonesia di Baltimore yang digelar seminggu sekali di hari Sabtu. Yang masih agak sulit diobati mungkin adalah kerinduan akan kemudahan-kemudahan untuk menjangkau masjid, yang seringkali saya sia-siakan. Di sini, ketika menjadi minoritas, saya jadi sadar bahwa selama ini tampaknya saya kurang bersyukur dengan kemudahan-kemudahan yang dilimpahkan Allah di Indonesia.

Ah, tapi dasarnya manusia sedikit sekali bersyukur. Mungkin ketika saya pulang besok, saya juga akan merindukan puasa 15 sampai 16 jam. Mungkin saya juga akan merindukan bau pinus ketika berjalan pulang dari stasiun kereta. Dan mungkin saya juga akan merindukan duduk bersama saudara-saudara dari berbagai ras dan latar belakang dengan semangat beragama yang tinggi namun tetap ramah.

6 comments:

Sunu Wibirama said...

Mas Arkha,
Menarik mas artikel-nya....
Sepakat, kadang kita merasa kehilangan saat kita tak lagi bersama dengan apa yang biasa kita miliki. Di Jepang pun demikian, untuk bisa i'tikaf harus jalan dulu ke Tokyo downtown sekitar 45 menit.
Semoga dimudahkan mas, menjalani sisa-sisa waktu Ramadhan kali ini..

Sunu

Arkhadi Pustaka said...

Amiiin. Makasih Nu.

freida hava said...

salam ...
maaf, izin share d www.islampos.com ...
terima kasih ...

Arkhadi Pustaka said...

silakan mbak Freida, asal disebutkan sumbernya saja.. terimakasih. Ngomong-ngomong kok bisa sampai blog saya bagaimana ceritanya?

Nurisma Najma said...

wah semacam perasaan yang sama yang pernah saya rasakan. semua yang selama ini sudah biasa bagi kita menjadi sesuatu yang istimewa ketika tak bisa lagi kita dapati. Sayang sekali saya hanya mengenal beberapa muslim di Amerika dan kurang paham secara menyeluruh kondisi dan permasalahan yang mereka hadapi di sana yang pastinya sangat berbeda dengan negara mayoritas Islam kaya Indonesia, saya tunggu share tulisan dari mas arkha tentang kehidupan muslim di sana :)
Satu hal yang cukup bikin surprise setelah beberapa kali ke masjid paling dekat di sana saat ramadhan dan lebaran, muslim amerika itu sangat multikultur kebanyakan pendatang entah afrika, timur tengah, asia atau lainnya. Dari salah seorang muslim Amerika juga saya menyadari orang muslim di sana sgt aware dg golongan syiah atau sunni ya, yg jujur sebelum itu sy mah ga peduli golongan2 semacam itu toh intinya islam meskipun ya sempat baca juga di kite runner tentang 2 golongan itu.
Dan benar sekali momen2 kecil di Indonesia mulai dari sahur, semarak ramadhan, hingga aksi takbiran seringkali menjadikan kita rindu akan kampung halaman. Ramadhan mubarak, semoga ramadhan di sana banyak hikmahnya trus di-share lagi di blog mas arkha haha :)

Arkhadi Pustaka said...

Isna! Ehehehe... Aku juga nggak begitu tahu mendalam juga sih soal kehidupan muslim di sini. Mungkin yang menarik, misalnya, setiap Ied ada acara family gathering (bukan trah atau bani macam di Indonesia lho ya) tapi kumpul2 nyewa amusement park buat acara bareng2 gitu. Secara kan minoritas gitu. Yang bisa aku ceritain paling malah tentang Keluarga Indonesia di Baltimore kali yaa hehehe. Coba deh besok aku nulis lagi :D